Kisah Rabu Seru
Oleh: Nurhalita Diny
"Lah kok anak kecil diajarin tentang seks... ada-ada aja si bu?"
"Eh gak papa ya anak-anak kita ajarin pendidikan seks?"
"Ini pendidikan seks seperti apa ya yang buat anak-anak, apalagi anak usia dini...seyeeem?"
Ini mesti yang ada dipikiran kita semua sebagai orang tua, ketika kita akan membahas pendidikan seks kepada anak-anak kita apalagi yang usia dini. Karena saya pun berpikiran demikian, mengira hal ini adalah tabu, "Biarin saja toh anak-anak nanti tahu dengan sendirinya kalau sudah besar?" Ini dalam benak saya. Hmmmm ternyata ini yang seharusnya kita pahami, bahwa pendidikan yang akan kita kenalkan kepada anak-anak adalah pendidikan seksualitas yaitu bagaimana mengajarkan anak berpikir, bersikap, dan bertingkah laku sesuai jenis kelaminnya (Perwitasari,2017). Pendidikan yang akan kita perkenalkan adalah tentang bagaimana anak memahami, menghayati, dan memiliki rasa percaya diri sesuai jenis kelaminnya. Sedangkan pendidikan seks termasuk bagian dari pendidikan seksualitas yang dimulai sejak mempersiapkan pubertas. Fokusnya lebih kepada bagaimana berhubungan dengan lawan jenis.
Pendidikan seksualitas adalah salah satu dari fitrah manusia sejak lahir termasuk fitrah seorang anak. Dan setiap anak yang dihadirkan oleh Allah memiliki fitrah nya masing-masing, orang tuanya lah yang menjadikan anak-anak ini menuju kesuksesan mereka dengan membangkitkan fitrah-fitrah yang dimiliki anaknya. Salah satu fitrah tersebut adalah fitrah seksualitas atau fitrah gender.
Mendidik fitrah seksualitas adalah merawat, membangkitkan, dan menumbuhkan fitrah sesuai gendernya yaitu bagaimana seorang lelaki berpikir, bersikap, bertindak, merasa sebagai lelaki juga bagaimana perempuan berpikir, bersikap, bertindak, merasa sebagai seorang perempuan. Fitrah seksualitas perlu dirawat dengan kehadiran, kedekatan, kelekatan Ayah dan Ibu secara utuh dan seimbang sejak anak lahir hingga usia akil baligh (Santosa, H.2017).
Banyak riset membuktikan bahwa seseorang bisa menjadi seorang LGBT adalah karena ketika mereka di usia dini mengalami traumatik akibat perlakuan kasar ayahnya sehingga ia membenci ayahnya dan mengeneralisir semua laki-laki seperti ayahnya bila ia perempuan dia menjadi lesbian dan bila ia laki-laki dia menjadi transgender.
Kita sebagai orang tua memiliki kewajiban mendidik anak-anak kita sesuai fitrah seksualitas mereka. Seorang anak laki-laki kelak ketika dia dewasa adalah seorang pemimpin minimal di keluarganya, dia harus mendapatkan pendidikan yang keras artinya mendidik mereka untuk memiliki daya juang (fight), tanggung jawab, tegas, berani menerima cobaan dan kemampuan bertarung.
Sebaliknya fitrah seksualitas perempuan adalah pendidikan kelembutan berupa kasih sayang, kepedulian, sopan santun, ramah tamah dan lemah lembut.
Hal-hal ini bisa kita tanamkan perlahan-lahan sesuai dengan usia anak-anak kita:
1. Pada usia bayi 0-2 tahun seorang anak didekatkan dengan ibunya karena menyusui, anak dapat merasakan kelembutan dan kasih sayang seorang ibu sebagai fitrah seorang perempuan yaitu feminis.
2. Kemudian di usia 3-6 tahun anak-anak sebaiknya dekat dengan kedua orang tuanya, bilapun salah satunya tidak ada kita bisa menghadirkannya lewat cerita-cerita kebaikan orang tuanya. (Contoh dari hal ini adalah kisah Siti Hajar yang mendidik Ismail dengan baik meskipun Ibrahim tidak membersamai mereka ketika Ismail kecil dan tetap mematuhi perintah ayahnya Ibrahim ketika datang perintah berqurban untuk Ismail). Kedekatan anak di usia ini akan membentuk imajinasi mereka dari peran ayah ibu yang mereka dapatkan baik dari bentuk fisik, sifat, cara berpakaian, berpikir, perasaan, tingkah laku yang membuat anak seusia ini dapat dengan jelas mengatakan bahwa dirinya adalah seorang laki-laki atau perempuan. Hal ini harus benar-benar tertanam pada anak-anak kita di usia ini, agar kelak benih-benih LGBT tidak muncul pada mereka.
3. Ketika usia 7-10 tahun dekatkan anak laki-laki kepada ayahnya dan anak perempuan kepada ibunya. Di usia ini anak semakin matang dengan fitrah seksualitas mereka sendiri. Anak laki-laki melihat fitrah seksualitasnya sebagai laki-laki dari seorang ayah begitupun sebaliknya anak perempuan bisa mencontoh peran ibunya sebagai fitrah perempuannya.
4. Di usia 11-baligh kedekatannya dibalik, anak perempuan dekat dengan ayahnya, anak laki-laki dekat dengan ibunya. Hal ini dilakukan karena dimasa ini mereka mulai memasuki usia baligh dimana di dalam Islam pada usia ini adalah usia dewasa usia siap memasuki pernikahan. Pada usia ini anak mulai merasakan simpati kepada lawan jenis, maka disini yang pertama kali mereka merasakan simpati itu adalah kepada ayah atau ibunya. Seorang anak laki-laki simpati kepada ibunya disini dia akan memperlakukan ibunya dengan baik karena rasa simpatinya. Begitupun sebaliknya seorang anak perempuan akan simpati kepada ayahnya dan menjadikan ayahnya adalah idola nyatanya di kehidupannya. Begitu banyak kejadian anak-anak yang mudah sekali jatuh hati kepada lawan jenisnya adalah karena mereka tidak menemukan simpati itu kepada ayah atau ibunya. Seorang anak perempuan yang mudah menyerahkan harga dirinya kepada pacarnya karena dia tidak menemukan sosok kedamaian dan perlindungan dari ayahnya.
Membangkitkan fitrah seksualitas pada anak harus ditanamkan sejak dini karena disinilah fase anak mengenal dirinya sendiri apakah dia sebagai laki-laki atau perempuan. Dari bentuk fisik mereka yang berbeda dan juga sifat-sifatnya yang mereka temui dari ayah ibunya. Kesalahan pola asuh akan berakibat pada perilaku anak di masa depan, seperti LGBT, mudah terlena pada lawan jenis yang berakibat pada kerusakan moral, bila ia laki-laki mudah sekali berlaku kasar ataupun sebaliknya terlalu tergantung dan lemah kepada istrinya biasanya ini bisa jadi karena proses kedekatan yang salah dengan kedua orang tuanya peran kedua orang tua yang tidak ditemukan dalam proses masa kanak-kanaknya. Jika ia seorang perempuan dia terlalu mandiri dan tangguh sehingga mengambil peran suaminya dalam keluarganya, disinilah kelemahlembutan sebagai fitrahnya seorang wanita hilang darinya. Semua ini berakibat pada keharmonisan keluarganya kelak.
Lalu bagaimana kita menerapkan pendidikan fitrah seksualitas pada anak usia dini:
1. Menanamkan rasa malu pada anak
الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّه “Malu itu adalah baik semuanya.” (HR. Muslim)
Membiasakan anak-anak menutup aurat sejak kecil, tidak bertelanjang sembarangan ketika keluar kamar mandi, tidak mandi bersama dengan sepupunya tanpa busana. Mulai membiasakan anak memakai baju yang menutup auratnya sambil terus menanamkan batasan aurat perempuan dan laki-laki. Hal ini adalah juga untuk menjaga mata jalang orang jahat yang sekarang ini mulai banyak kita temui. Orang-orang dewasa yang memiliki nafsu seksual kepada anak kecil atau Predator pedofil. Mereka bertebaran dan dapat menularkannya kepada yang lain. Dengan membiasakan anak menutup aurat dari kecil membuat mereka terbiasa melakukannya ketika dewasa dan menjaga mereka dari rangsangan-rangsangan seksual akibat pakaian yang mereka kenakan.
2. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan feminisitas kepada anak perempuan
Anak-anak kita berikan pemahaman bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan itu berbeda secara fisik dan fitrahnya. Tidak ada yang lebih tinggi dan rendah namun satu sama lain saling mengisi satu sama lain. Maka fitrah laki-laki adalah bersikap maskulin dan perempuan bersikap feminim, dalam Islam tidak membolehkan seorang laki-laki berpakaian atau berperilaku seperti perempuan begitupun sebaliknya. Karena dari hal-hal kecil ini bisa memicu anak kelak menjadi LGBT.
Ibnu Abbas ra. berkata:
Rasulullah saw. melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki. (HR al-Bukhari).
3. Memisahkan tempat tidur mereka
Terutama di usia 7-10 tahun dalam hal ini tidak dalam satu selimut dengan yang lainnya. Bila anak sudah dilatih berpisah tempat tidur dengan orang tuanya menjadikannya anak yang mandiri juga untuk menghindari kejadian yang tidak pantas bila anak melihat hubungan intim ayah ibunya. Dan bila dengan saudaranya yang beda jenis bisa mendidik anak-anak tentang perbedaan jenis kelaminnya.
4. Mengajarkan anak berinteraksi dengan orang lain yang bukan mahramnya
Mengenalkan kepada anak-anak siapa-siapa mahram mereka dan apa saja yang bisa kita perlihatkan dan perlakukan kepada mahramnya. Mengajarkan anak kita bersikap kepada orang lain selain orang tuanya, batasan-batasan auratnya dan tindakan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan orang lain kepadanya, bermanja-manja, berdekatan, bersentuhan, minta gendong dll. Dan juga tindakan anak ketika mendapat perlakuan yang tidak sepatutnya dari orang lain selain orang tuanya. Kuatkan kedekatan kita sebagai orang tua kepada anak-anak agar mereka mau menceritakan apapun yang mereka temukan dan perlakuan orang lain kepadanya. Banyak kita dapati orang-orang yang dipercaya melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya kepada anak-anak.
5. Mendidik anak-anak dengan adab-adab dalam berinteraksi dengan orang lain
a. Adab memandang lawan jenis
b. Adab meminta izin ketika memasuki kamar orang tua: Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta izin terlebih dulu adalah: sebelum shalat subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Aturan ini ditetapkan mengingat di antara ketiga waktu tersebut merupakan waktu aurat, yakni waktu ketika badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 13).
c. Adab berbicara, secukupnya dan bagi perempuan tidak mendayu-dayu
d. dll
6. Mengajarkan menjaga kebersihan kemaluannya
Bagaimana sebaiknya membersihkan air seni nya ketika habis buang air kecil, agar tidak menyebabkan najis buat orang lain dan menjadi azab kuburnya kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar